Nostalgia Karang Tengah: Dari Teritis yang Hilang hingga Harapan untuk Generasi Muda


CILEGON, KBN.Com –
Semangat menjaga kearifan lokal dan budaya lama mewarnai diskusi kebudayaan yang digelar warga Lingkungan Karang Tengah, Kelurahan Pabean, Kecamatan Purwakarta, Cilegon, Jumat malam (8/8/2025). Bertempat di panggung kemerdekaan, para tokoh masyarakat dan penggiat budaya membedah perubahan nilai-nilai sosial yang perlahan terkikis zaman.


“Wong Lanang Mah Aje Ilok Ning Umah”


Dalam diskusi itu, Ayatullah—seorang pemerhati budaya lokal—menyampaikan kritik reflektif terhadap pola asuh dan nilai hidup generasi masa kini. Ia membandingkan cara orang tua mendidik anak laki-laki di masa lalu dengan kondisi saat ini.


"Orang tua zaman dulu kalau anak laki-lakinya pulang ke rumah malah ditutup pintunya. Mereka bilang, *'wong lanang mah aje ilok ning umah'*—laki-laki itu jangan terlalu lama di rumah. Maksudnya, mereka harus mandiri, keluar rumah, belajar hidup," ujar Ayatullah.


Ia mengenang bahwa selepas lulus sekolah dasar, anak-anak laki-laki di Karang Tengah didorong untuk belajar berbagai keterampilan: mulai dari pencak silat, qasidah, hingga membaca Al-Qur’an dengan baik. Kini, katanya, kondisinya justru terbalik.


"Anak sekarang kalau keluar malah disuruh pulang. Ruang tumbuh itu jadi sempit," lanjutnya.


Teritis, Budaya Sederhana yang Mulai Lenyap


Ayatullah juga menyoroti hilangnya budaya "teritis" — area sempit di bawah atap genteng yang dulu menjadi titik interaksi sosial warga. Di sanalah berbagai aktivitas warga berlangsung: dari menukar sayur antar tetangga, meminjam api untuk memasak, hingga bermain gobag dan pepelayon (lari-lari kecil) anak-anak.


"Kini budaya itu perlahan menghilang, berganti dengan pagar tinggi dan pintu yang selalu terkunci," ujarnya lirih.


Pertanian Hilang, Melon Kembali Tumbuh


Sementara itu, tokoh masyarakat Karang Tengah, KH. Samsudin, mengungkapkan keprihatinannya atas lenyapnya jejak pertanian yang dulu menjadi identitas utama wilayah Pabean.


"Karang Tengah dulu adalah lumbung pertanian dan peternakan. Warga menanam padi, beternak kerbau dan ayam. Hasilnya dijual, dibelikan emas, lalu tanah. Makanya tanah Karang Tengah dulu luas-luas," ungkapnya.


Ia pun mengenang masa kecilnya yang sangat bersahaja. "Kalau mau sekolah, ambil telur ayam sendiri, digoreng, bukan beli," katanya sambil tersenyum.


Meski sebagian besar tradisi pertanian itu telah hilang, KH. Samsudin mengaku bangga melihat semangat baru dari para petani muda yang mulai menanam melon di wilayah tersebut. "Ini adalah langkah bagus. Tapi jangan berhenti di sini," tegasnya.


Waspada Banjir dan Ancaman Betonisasi


Karang Tengah juga menyimpan sejarah panjang soal banjir. Dahulu, kawasan ini memiliki bendungan yang mengatur aliran air. Namun, seiring perkembangan pembangunan, bendungan tersebut dibongkar dan aliran air tak lagi terkendali.


"Sekarang kanan kiri sudah dipenuhi rumah-rumah tinggi. Kita harus waspada, jangan sampai sejarah banjir terulang," pesannya.


Seremonial Saja Tidak Cukup


KH. Samsudin mengajak generasi muda untuk tidak berhenti pada kegiatan seremonial semata. Ia mendorong agar ada aksi nyata yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan.


"Jangan hanya upacara dan karnaval. Harus ada skema perbaikan lingkungan yang konkret. Pemuda hari ini harus sadar bahwa mereka pewaris tanah dan budaya," pungkasnya.


(Rizki/Red*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama