Lapak Sukmajaya: Di Antara Puing, Hukum, dan Harapan yang Tersisa


CILEGON, WILIP.ID -
Sabtu pagi yang panas di Sukmajaya. Di atas tanah berdebu dan sisa-sisa puing bangunan, sejumlah eks-penghuni masih duduk termenung. Di tengah riuh mesin pembongkar, suara mereka makin sayup terdengar. Tahap pertama pengosongan Lapak Sukmajaya telah rampung. Sebanyak 153 bangunan, baik permanen maupun semi permanen, telah diratakan sejak 10 Juli 2025. Tapi ketegangan belum usai. Justru, baru akan dimulai lagi.


“Besok kita masuk jilid kedua. Kami tetap lanjut,” kata H. Deni Juweni, pria berkopyah yang akrab disapa Abah Jen, saat ditemui wartawan, Sabtu, 9 Agustus 2025.


Di tangannya, kuasa hukum pengosongan lahan itu menjadi senjata utama. Meski menuai kecaman dan isu provokatif dari berbagai arah, Abah Jen bersikukuh bahwa pembongkaran adalah bentuk penegakan hukum. “Siapapun yang menyebar isu, itu ciri-ciri orang penakut. Cemen!” katanya, lantang.


Ketika Lahan Menjadi Titik Tarik Menarik Kepentingan


Lapak Sukmajaya bukan hanya soal rumah semi permanen. Di atasnya tersimpan sejarah penghidupan, solidaritas, dan peluh harian warga yang sudah puluhan tahun tinggal. Namun status lahan yang masuk wilayah sengketa membuat kawasan ini terus digempur kepentingan.


Selama hampir sebulan terakhir, sebagian warga memilih membongkar rumah secara mandiri setelah menerima kompensasi atau kerohiman. Namun tak semuanya ikut arus.


“Saya masih punya empati. Tapi saya tahu, mereka yang bertahan itu sudah terdoktrin,” ujar Abah Jen. Ia menuding ada oknum yang sengaja memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi—menjadikan warga sebagai tameng dalam perang kepentingan.


Jilid II: Antara Ultimatum dan Harapan


Besok, Minggu, 10 Agustus 2025, tahap kedua akan dimulai. Menurut penanggung jawab, target berikutnya adalah sisa bangunan yang belum juga dibongkar, meski sebagian penghuninya telah menerima ganti rugi.


Deni menegaskan, pengosongan ini bukan bentuk pemaksaan, tapi pelaksanaan hukum. “Kita hidup di negara hukum. Kalau melanggar, ya pasti berhadapan dengan hukum,” ujarnya.


Namun narasi ini tidak selalu diterima bulat-bulat oleh semua pihak. Sejumlah warga merasa proses ini terlalu cepat, tanpa cukup ruang negosiasi yang adil.


“Bicara hukum, tapi siapa yang punya kuasa membentuk narasinya?” tanya seorang warga yang meminta namanya disamarkan. “Kami hanya rakyat kecil. Rumah ini bukan sekadar tempat tidur, tapi identitas kami.”


Di Ujung Jilid, Konflik Tak Selesai


Dalam narasi resmi, pengosongan ini adalah langkah normalisasi dan legalitas. Namun di mata warga yang bertahan, ini adalah penghapusan ruang hidup.


Lapak Sukmajaya kini menjadi panggung tarik-menarik antara instrumen hukum dan suara warga yang nyaris tak terdengar. Dan Jilid II bukan sekadar kelanjutan pembongkaran bangunan, tapi pertarungan memori, keadilan, dan arah kebijakan kota.


(Red*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama