Pesantren di Persimpangan Zaman: Mencari Jalan Profesionalisme Tanpa Kehilangan Ruh


Oleh KH. Abdul Hay Nasuki

Sekretaris RMI PWNU Provinsi Banten


Di Banten, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah denyut kehidupan itu sendiri — tempat nilai, ilmu, dan keikhlasan berkelindan dalam keseharian masyarakat. Dari pesantren lahir para ulama, pejuang, dan guru bangsa yang menanamkan cinta tanah air lewat ayat dan amal.


Namun di tengah arus modernitas yang deras, pesantren menghadapi kenyataan baru: dunia bergerak terlalu cepat, sementara sebagian lembaga masih bertahan dengan sistem lama. Di sinilah pesantren berdiri di persimpangan — antara mempertahankan tradisi dan menata profesionalisme.


Kesadaran akan kelemahan bukanlah tanda kemunduran, melainkan awal dari pembenahan. Sebab pesantren yang ingin tetap hidup dalam sejarah, harus siap menulis ulang masa depannya sendiri.


1. Tradisi Manajemen yang Perlu Ditata Ulang

Sebagian besar pesantren di Banten masih bergantung pada kharisma sang kiai. Sosok pendiri menjadi pusat kendali dari segala urusan, dari pendidikan hingga dapur santri. Tetapi ketika kiai wafat, banyak pesantren kehilangan arah.


Padahal, sebagaimana lembaga pendidikan lainnya, pesantren membutuhkan sistem manajemen yang kuat dan berkesinambungan. Administrasi, keuangan, hingga pengembangan kurikulum perlu disusun dengan rapi — tanpa mencabut akar keikhlasan yang menjadi napas pesantren.


Seperti pesan Abuya Muhtadi dari Cidahu, “Pesantren harus bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya. Administrasi boleh modern, tapi niat tetap lillahi ta‘ala.”


2. Guru Ikhlas yang Butuh Penguatan Kapasitas

Para ustaz di pesantren dikenal dengan keikhlasannya. Mereka mengajar tanpa banyak menuntut, hidup sederhana, dan mencintai santrinya sepenuh hati. Namun semangat saja tak cukup di era ini.


Sebagian guru belum terlatih dalam metodologi modern atau teknologi pembelajaran digital. Akibatnya, pembelajaran kadang berlangsung apa adanya, tanpa inovasi. Pesantren perlu membuka diri terhadap pelatihan, kerja sama, dan pendampingan agar para pengajarnya siap mengawal dua dunia: kitab kuning dan dunia digital.


3. Ketimpangan Fasilitas dan Kesabaran Santri

Di pelosok Banten, masih banyak pesantren dengan asrama rapuh dan kitab yang menguning. Ada yang kekurangan air, listrik, bahkan ruang belajar layak. Tapi di tengah keterbatasan itu, semangat santri tak pernah padam.


Inilah wajah keikhlasan sejati: bertahan meski serba kurang. Namun romantisme tidak boleh menutup mata terhadap kebutuhan dasar. Pesantren memerlukan dukungan nyata — dari pemerintah, alumni, dan masyarakat. Sebab benteng moral bangsa ini harus dijaga agar tidak lapuk dimakan waktu.


4. Dunia Digital: Antara Ancaman dan Peluang

Zaman digital kerap membuat pesantren waswas. Banyak kiai masih memandang dunia maya dengan curiga, khawatir ia merusak akhlak santri. Kekhawatiran itu beralasan, tetapi menutup diri bukanlah jawaban.


Santri perlu dibimbing, bukan dijauhkan, dari teknologi. Sebab dakwah hari ini juga berlangsung di layar ponsel. Bila santri tidak hadir di ruang digital, siapa yang akan menandingi banjir konten negatif di media sosial?


“Jangan biarkan dunia maya hanya diisi oleh keburukan,” pesan seorang kiai muda di Pandeglang. “Santri harus hadir dengan akhlak dan pikiran yang tercerahkan.”


5. Kemandirian Ekonomi: Jalan Menuju Kebebasan

Banyak pesantren masih hidup dari sumbangan masyarakat, yang jumlahnya tak selalu menentu. Padahal, pesantren yang mandiri secara ekonomi akan lebih bebas dalam menentukan arah pendidikan dan dakwahnya.


Beberapa sudah mulai merintis koperasi, pertanian, dan usaha kecil. Namun semangat ini perlu digerakkan secara sistematis — melibatkan alumni dan masyarakat sekitar. Pesantren bukan hanya pusat ilmu, tapi juga bisa menjadi pusat pemberdayaan umat.


“Santri harus diajarkan bukan hanya mengaji, tapi juga bekerja dan berwirausaha.” Sebab pesantren yang mandiri tak akan mudah goyah.


6. Jaringan yang Masih Terpisah

Di Banten tercatat lebih dari 6.700 pesantren, namun kebanyakan berjalan sendiri-sendiri. Kolaborasi antarpesantren masih lemah, padahal kekuatan sejati terletak pada jaringan.


Jika antarpesantren saling berbagi kurikulum, pelatihan, hingga program sosial, potensi besar akan lahir. Di sinilah peran penting RMI NU sebagai payung koordinasi — bukan sekadar organisasi, melainkan jembatan menuju sinergi.


7. Membangun Citra di Tengah Sorotan

Beberapa kasus yang melibatkan oknum telah mencoreng citra pesantren. Padahal, pesantren sejatinya adalah lembaga penjaga akhlak dan kemanusiaan. Tantangan citra ini harus dijawab dengan komunikasi publik yang terbuka dan santun.


Pesantren perlu hadir di ruang publik, memperlihatkan wajah Islam yang moderat, inklusif, dan cinta damai — sebagaimana yang telah lama diajarkan para kiai Nusantara.


Menatap Masa Depan dengan Optimisme

Kritik terhadap pesantren tidak dimaksudkan untuk melemahkan, melainkan menguatkan. Pesantren di Banten memiliki kekuatan moral dan sosial yang luar biasa: kiai yang ikhlas, santri yang semangat, dan masyarakat yang mencintai agama.


Maka langkah ke depan harus nyata:

1. Menata sistem dan manajemen lembaga.

2. Menguatkan kapasitas guru dan santri.

3. Membangun unit ekonomi mandiri.

4. Menguasai teknologi digital untuk dakwah.

5. Menjalin jejaring antarpesantren dan alumni.


Sebab pesantren bukan sekadar tempat belajar, melainkan tempat perjuangan. Bila hari ini masih ada kekurangan, maka memperbaikinya adalah bentuk cinta yang paling tulus.


Karena cinta kepada pesantren bukan diukur dari seberapa banyak pujian yang kita ucapkan, tetapi dari seberapa besar usaha kita menjaga martabatnya di tengah perubahan zaman.


Serang, 23 Oktober 2025

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama