Kisah Wahyu, Pemuda Penjual Kue Putu di Cilegon: Dari Lulus SMA hingga Merantau Demi Hidup


CILEGON, KBN.Com –
Bagi Wahyu (19), masa muda bukan soal nongkrong di kafe atau sibuk scroll media sosial. Lulusan SMA asal Jawa Tengah ini justru memilih jalan hidup berbeda: mengayuh sepeda keliling Kota Cilegon untuk menjajakan kue putu, jajanan tradisional yang legendaris dengan suara “ngiiung-ngiiung” khasnya.


Wahyu lulus SMA pada 2024 lalu. Namun, impian melanjutkan kuliah terpaksa ia kubur dalam-dalam. “Kalau kuliah saya enggak punya biaya,” ujarnya lirih ketika ditemui KBN.Com di kawasan Perumahan Metro, Cilegon, Senin (1/9/2025).


Alih-alih putus asa, Wahyu memutuskan merantau bersama saudaranya ke Cilegon. Dari sanalah ia belajar mengolah adonan kue putu: tepung tapioka, gula aren, dan parutan kelapa. Semua dibakar dalam cetakan kaleng yang mengeluarkan bunyi khas ketika uap air mendesak keluar.


Setiap hari, Wahyu mengayuh sepeda menyusuri jalanan. Dengan kaus lusuh, celana jins pudar, dan topi sederhana, ia mengaku lebih bangga berjualan dibanding menganggur. “Selain ramah lingkungan, ya bikin badan sehat juga,” katanya sambil tersenyum.


Dari pagi hingga sekitar pukul 22.00 malam, Wahyu bisa menjual hingga 300 potong kue putu. Satuannya dihargai Rp1.000. Itu berarti dalam sehari ia bisa membawa pulang omzet Rp300.000. Dengan modal hanya Rp100.000, keuntungannya berkisar Rp200.000.


“Lumayan, bisa buat kebutuhan harian. Saya tinggal sama saudara di kontrakan Jombang. Semuanya juga jualan,” bebernya.


Di tengah gempuran makanan modern, Wahyu justru menjaga keberlangsungan jajanan tradisional yang kian jarang ditemui. Suara khas putu yang ditiup uap, aroma kelapa parut, serta rasa manis gula aren seolah jadi pengingat bahwa kue sederhana ini masih punya tempat di hati masyarakat.


Bagi Wahyu, berjualan putu bukan sekadar mencari nafkah. Ada harga diri dan kebanggaan di dalamnya: berdiri di atas kakinya sendiri, meski dengan jalan yang sederhana.


(Rizki/Red*)

Post a Comment

أحدث أقدم