Surabi Legendaris di Pinggir Jalan Kubang Laban: Bertahan Sejak 2015, Menolak Tergusur Zaman


CILEGON, KBN.Com –
Di tengah maraknya kuliner kekinian yang kerap viral di media sosial, siapa sangka sebuah surabi sederhana yang dijual di pinggir Jalan Kubang Laban, Jombang Wetan, samping taman kodok, masih tetap digemari. Adalah Ibu Surati, warga setempat yang sejak 2015 setia membakar surabi tiap pagi, menjaga cita rasa tradisional yang hampir punah.


Dari Warung Sembako ke Tungku Surabi


Sebelum berjualan surabi, Ibu Surati lebih dulu membuka warung sembako kecil-kecilan di rumahnya. Tapi dorongan ekonomi dan kebutuhan keluarga membuatnya mencoba peruntungan lain. "Awalnya cuma coba-coba. Tapi ternyata laku, bisa bantu sekolahin anak, bahkan sampai beli rumah," katanya sambil tersenyum.


Sejak itu, ia rutin membuat dan menjual surabi setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, antara 100 hingga 200 surabi ludes dalam waktu empat jam saja.


Surabi Rasa Tempo Dulu, Bukan Sekadar Kenangan


Tak seperti pedagang lain yang berlomba-lomba menawarkan topping kekinian seperti keju, cokelat, atau green tea, Ibu Surati tetap setia dengan rasa original. "Saya sengaja nggak bikin topping aneh-aneh. Banyak orang malah cari rasa jadul yang asli," ujarnya.


Adonan surabi buatannya berasal dari campuran tepung, kelapa, garam, dan sedikit bahan pengembang. Proses memasaknya pun masih menggunakan cowet, wadah khas dari tanah liat yang menjaga aroma dan tekstur surabi tetap otentik. "Resep ini bukan warisan, tapi hasil eksperimen sendiri. Dicoba-coba, akhirnya nemu rasa yang pas," ucapnya bangga.


Jualan Pagi Buta, Bertaruh dengan Cuaca


Setiap hari, sejak pukul 06.00 pagi, lapaknya sudah buka. Ia biasa mangkal di pinggir jalan, tak jauh dari lalu lintas padat kendaraan di Jalan Kubang Laban. "Di sini rame, banyak yang lewat pagi-pagi. Banyak juga yang sengaja berhenti buat beli surabi," katanya.


Namun, lokasi terbuka ini juga menjadi tantangan tersendiri. "Kalau hujan ya repot. Harus berteduh, kadang gak sempat jualan semua," ungkapnya.


Modal Mulut ke Mulut, Pelanggan Tetap Berdatangan


Promosi? Jangan harap ada akun Instagram khusus atau video TikTok viral. Strategi pemasarannya masih klasik: dari mulut ke mulut. Tapi jangan salah, pelanggannya loyal. Mulai dari warga sekitar, pekerja industri, hingga pelajar.


"Kadang ada yang pagi-pagi sudah nungguin, katanya kalau telat suka kehabisan," imbuhnya.


Antara Harapan dan Kewaspadaan


Kendala terbesar dalam berjualan, kata Ibu Surati, selain cuaca juga terkadang razia dari aparat. “Kalau ada Satpol PP operasi ya hati-hati aja. Saya nggak ganggu, tapi kadang kita tetap was-was,” katanya dengan nada tenang.


Ia berharap pemerintah daerah bisa lebih mendukung pelaku usaha kecil seperti dirinya. “Setidaknya jangan digusur. Kita cuma usaha kecil, cari makan halal,” katanya lirih.


Warisan Rasa, Warisan Budaya


Meski terlihat sederhana, bagi Ibu Surati, surabi bukan sekadar makanan. Itu adalah bagian dari tradisi. “Orang Cilegon itu masih suka rasa asli. Surabi ini bukan hanya makanan, tapi kenangan,” tuturnya.


Ia pun berharap kelak ada yang meneruskan usahanya. “Anak saya sih belum tertarik belajar bikin. Tapi saya ingin, suatu saat nanti, usaha ini bisa diwariskan. Biar rasa surabi nggak hilang ditelan zaman.”


(Kang Sob/Red*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama