Program SALIRA Tersendat di Cilegon: Anggaran Tak Kunjung Cair, Warga Menunggu Kepastian


CILEGON, KBN.Com -
Anggaran publik kembali menjadi ganjalan. Di tengah antusiasme warga dan hasil musyawarah dari tingkat RT hingga kelurahan, program SALIRA (Sarana dan Prasarana Lingkungan Rukun Warga) di Kota Cilegon justru terjebak di meja birokrasi. Hingga Juli 2025, program pembangunan infrastruktur lingkungan itu belum juga menyentuh tanah.


Di banyak lingkungan, warga sudah menyusun rencana. Jalan setapak yang perlu diperbaiki, drainase yang tersumbat, dan penerangan jalan yang minim. Semua itu sudah dibahas dalam forum-forum musyawarah. Tetapi eksekusinya terhenti di satu titik: anggaran tak turun.


“Program SALIRA ini sangat penting, menyangkut kebutuhan dasar kami,” keluh seorang warga dalam sebuah forum RW. “Sayangnya, hanya berhenti di kertas.”


SALIRA sejatinya bukan program baru. Skemanya melibatkan kelompok masyarakat (Pokmas) untuk mengeksekusi pembangunan dengan dana alokasi dari pemerintah kota. Masing-masing RT dan RW bahkan sudah mendapat jatah anggaran sekitar Rp100 juta. Tapi kucuran dana itu belum mengalir.


Tersendat di Tengah Transisi


Seorang lurah di wilayah Kota Cilegon membenarkan bahwa program SALIRA saat ini dalam status tertunda. Ia mengaku tidak ada kendala dalam hal regulasi ataupun sistem pengajuan. Masalah utamanya adalah keterlambatan pencairan anggaran dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).


“Biasanya kami diundang oleh BPKAD untuk teknis pelaksanaan. Tapi sampai sekarang belum ada pertemuan lanjutan,” kata sang lurah.


Menurutnya, kemacetan ini diperparah oleh masa transisi pemerintahan pascapemilihan wali kota. Ada jeda dua bulan yang menyebabkan koordinasi antarlembaga daerah tersendat. Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) belum memberi kepastian waktu.


Ironisnya, meski belum ada keputusan final, kelurahan tetap dituntut untuk mempersiapkan Pokmas dan sistem pelaporan teknis.


Birokrasi Mengulur Waktu


Pemerintah kota belum memberi sinyal pasti kapan dana akan dicairkan. Padahal, publikasi APBD sudah lama rampung dan sistem penyaluran masih menggunakan skema lama melalui Bank BJB. Namun dari sisi pelaksana teknis, baik kelurahan maupun Pokmas, hanya bisa menunggu.


“Kami terus berkomunikasi, tapi semua menunggu lampu hijau dari Sekda,” jelas sang lurah. “Kami ingin program ini segera berjalan, tapi kewenangan teknis ada di BPKAD.”


SALIRA akhirnya menjadi cermin klasik dari birokrasi yang lambat. Di satu sisi, semangat partisipasi warga cukup tinggi. Di sisi lain, struktur anggaran pemerintah daerah tak cukup tangkas untuk menjawab kebutuhan lapangan.


Janji Sabar, Harapan Tertunda


Di tengah harapan yang menggantung, pemerintah kelurahan hanya bisa mengimbau warganya untuk bersabar. Tapi bagi banyak warga, kesabaran itu mulai habis. Apalagi jika yang ditunda adalah kebutuhan dasar, seperti akses air bersih atau perbaikan jalan lingkungan.


“Kami juga ingin semua ini cepat terlaksana,” ucap sang lurah sebelum menutup pembicaraan. “Tapi ya, kita tunggu saja...”


Dan begitulah, SALIRA kini berubah menjadi ironi: dari semangat membangun lingkungan, menjadi potret tersendatnya komitmen negara di tingkat paling bawah.


(Rizki/Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama