![]() |
Foto : Bocah 12 tahun ini hidup dalam keterbatasan bersama kakek-neneknya yang sudah renta, setelah ditinggal ibu tanpa kabar dan ayah yang telah tiada. Kini, perhatian dan bantuan mulai datang dari pemerintah, Rabu, 9 Juli 2025. |
CILEGON, KBN.Com – Di sebuah sudut sunyi kota baja, Cilegon, tersimpan kisah yang menusuk hati. Di sebuah rumah tua dan sederhana di Lingkungan Ciwaduk Gede, RT 06/RW 03, Kelurahan Ciwaduk, hidup seorang bocah lelaki berusia 12 tahun bernama Azicho Harsya Drastian. Wajahnya polos, matanya teduh, namun menyimpan cerita yang tak terucapkan.
Azicho bukanlah anak biasa. Ia terlahir dengan kondisi spesial. Namun lebih dari itu, takdir seperti menguji kekuatan jiwanya sejak dini. Ayahnya telah tiada. Sang ibu, tak lama kemudian, pergi meninggalkannya tanpa kabar. Ia tak tahu ke mana. Sejak itu, Azicho tinggal bersama kakek-neneknya yang sudah renta, yang hanya bisa mengandalkan sisa tenaga dan cinta untuk menghidupinya.
“Dia gak pernah nangis kalau lapar,” kata sang nenek lirih, “tapi matanya selalu sayu, seperti memanggil ibunya dalam diam.”
Hari-hari Azicho jauh dari hingar bingar dunia anak-anak. Tidak ada mainan mewah, tidak pula suara tawa riang. Yang ada hanya waktu yang berjalan pelan, dan perjuangan dalam diam. Namun di tengah keterbatasan itu, seberkas cahaya mulai menerobos gelapnya kehidupan Azicho.
Adalah Nurul Hadiyati, Lurah Ciwaduk, yang hatinya tergugah melihat kondisi Azicho. Ia tidak tinggal diam. Nurul menggandeng BAZNAS Kota Cilegon dan menginisiasi bantuan sosial untuk Azicho. Tak hanya sekadar empati, ia menjadikan Azicho sebagai simbol perjuangan anak-anak yang terpinggirkan.
“Kami berikan santunan tunai sebesar Rp500.000 dan jaminan sosial dari Bank BJB untuk Azicho. Ini bukan belas kasihan, ini haknya,” ujar Nurul dengan mata berkaca-kaca saat ditemui jurnalis KBN.Com, Rabu, 9 Juli 2025.
Namun perjuangan Nurul tak berhenti di Azicho. Ia bersama jajaran RT/RW mulai mendata anak-anak yatim, piatu, dan penyandang disabilitas di wilayah Ciwaduk. Tujuannya jelas: tak satu pun dari mereka boleh luput dari perhatian negara.
“Kami tak ingin bantuan salah sasaran. Anak-anak ini harus dipastikan mendapat hak hidup yang layak,” tegasnya.
Bahkan, bagi penyandang disabilitas yang telah berusia 17 tahun namun belum memiliki identitas, pihak kelurahan membantu proses pendaftaran ke Disdukcapil Kota Cilegon. Sebab, bagi Nurul, memiliki identitas adalah langkah awal menjadi warga negara yang setara.
Langkah ini bukan sekadar program sesaat. Pendataan dilakukan secara berkala dan akurat. Tidak boleh ada lagi nama orang yang telah meninggal di daftar penerima bantuan. Tidak boleh ada lagi anak yang terlupakan.
“Setiap Ramadan kami juga rutin gelar Gebyar Ramadan. Ada santunan untuk anak yatim, dhuafa, dan disabilitas,” tambahnya.
Di balik rutinitas kota yang sibuk, masih ada secercah kasih dari tangan-tangan yang peduli. Dan di balik rumah reyot di Ciwaduk, ada Azicho, si bocah sunyi, yang kini mulai mendapat perhatian dunia.
Nurul menutup kisahnya dengan pesan yang menohok:
“Kalau ada anak yatim, disabilitas, atau dhuafa di sekitar kita, laporkan ke kelurahan. Ini bukan soal uang. Ini tentang hati. Ini tentang kemanusiaan.”
Ciwaduk mengajarkan kita, bahwa tak semua cerita anak ditulis dengan keceriaan. Ada yang ditulis dengan air mata, ditinggal orang tua, dan hidup dari kasih sisa orang tua mereka. Tapi selama masih ada yang peduli, kisah itu belum selesai. Masih ada harapan.
(Rizki/Red*)
إرسال تعليق