CILEGON, KBN.Com – Dalam momentum perayaan Idul Adha tahun ini, Majelis Dzikir Buyut Kahal melakukan ibadah qurban dengan semangat yang sama besar meski jumlah hewan kurbannya mengalami penurunan. Tercatat delapan ekor sapi dan enam ekor kambing dikurbankan, menyisakan ruang refleksi: apakah kuantitas menentukan kualitas kepedulian?
Menurut Haji Saefudin – tokoh masyarakat, pengurus Yayasan Buyut Kahal, sekaligus legislator dari Komisi II DPRD Kota Cilegon – penurunan jumlah hewan qurban dibandingkan tahun lalu sama sekali tidak meredupkan niat tulus para jamaah:
“Walau jumlah tahun ini tidak sebanyak tahun kemarin, semangat berqurban meniru para Nabi terdahulu tetap menyala,” ujarnya tegas, menegaskan esensi ibadah bukan angka.
Pesannya kepada masyarakat jelas: qurban bukan soal deretan sapi atau kambing, melainkan tentang sikap berbagi dan solidaritas. Baginya, momentum ini adalah perwujudan kehadiran agama dalam kehidupan nyata—membumikan nilai spiritual dalam tindakan konkret untuk menolong sesama.
Haji Saefudin juga menyampaikan apresiasi mendalam kepada para donatur, relawan, dan seluruh elemen masyarakat yang mendukung pelaksanaan qurban tahun ini:
“Ucapan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu,” ungkapnya, sembari menegaskan pentingnya sinergi warga dalam mewujudkan misi keagamaan dan sosial.
Kegiatan qurban Majelis Dzikir Buyut Kahal tidak berhenti pada pemotongan hewan. Daging kurban didistribusikan secara merata ke keluarga dhuafa, panti sosial, serta jamaah internal yayasan. Proses distribusi yang sistematis ini mencerminkan semangat inklusif; nilai keadilan sosial dihadirkan di tengah kompleksitas kehidupan urban yang sering kali mengaburkan kepedulian terhadap kaum marginal.
Qurban: Antara Tradisi dan Revolusi Sosial
Sejatinya, qurban bukan semata ritual tahunan. Melalui pendekatan populer dan sarat makna, Majelis Dzikir Buyut Kahal menyulapnya menjadi oasis solidaritas di tengah realitas ekonomi yang semakin menantang – dari fluktuasi harga hewan qurban hingga tekanan biaya hidup. Dalam kondisi seperti ini, komitmen menyisihkan sebilah kurban jadi lebih menginspirasi daripada deretan sapi megah di media sosial.
Bahkan, dalam konteks demokrasi lokal, sosok legislator seperti Haji Saefudin – yang memadukan peran spiritual dan publik – hadir sebagai figur penting: ia memperkuat implikasi sosial dari ibadah qurban. Ia membantu membumikan semangat agama ke dalam kebijakan, kolaborasi masyarakat, dan bahkan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis lokal.
Menutup dengan Tafsir Keikhlasan
Ketika semua hewan kurban telah disembelih dan dagingnya tercurah ke banyak mulut yang membutuhkan, pertanyaan paling sederhana muncul: apa yang tersisa dari ibadah tersebut? Jawabannya terletak pada kesadaran: bahwa berbagi adalah napas agama, bahwa berqurban adalah rezim ulang untuk kepedulian, dan bahwa distribusi keadilan daging qurban adalah wajah paling nyata dari religiositas bermakna.
Majelis Dzikir Buyut Kahal telah mengingatkan kita: dalam setiap irisan daging kurban, ada sedekah sosial; dalam setiap potong kambing, ada pesan spiritual; dan di balik setiap sapi yang disembelih, tersimpan nilai-nilai revolusioner—untuk menuntaskan kesenjangan, memperkuat linkungan sosial, serta meneguhkan rasa kemanusiaan.
Qurban mereka tahun ini bukanlah spektakel megah yang dinamis di media massa. Namun, ia adalah aksi kesederhanaan yang tajam dalam ketulusan: memanggil kita semua untuk kembali ke esensi—bahwa yang paling berat bukan sapi, melainkan kemauan untuk memberi.
(Red*)
إرسال تعليق