CILEGON, KBN.Com - Ironi menyelimuti Hari Pramuka ke-64 di Kota Cilegon. Di tengah seruan pembentukan karakter generasi muda, peringatan tahun ini justru berjalan tanpa arah. Tanpa upacara resmi, tanpa seremoni kota, dan—yang paling disayangkan—tanpa dukungan anggaran dari Pemerintah Kota Cilegon.
Yang jadi sorotan, situasi ini terjadi di bawah kepemimpinan Maman Mauludin, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kota Cilegon, sekaligus menjadi Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Cilegon.
Padahal, posisi Sekda adalah jantung koordinasi kebijakan daerah. Tapi sayangnya, dalam isu Pramuka ini, jantung itu seolah tak berdetak.
Dana Tak Jelas, Pramuka Jalan Sendiri
Ketua Harian Kwarcab Pramuka Cilegon, Abdullah Syarif, mengaku belum ada kejelasan apapun dari Pemkot hingga H-1 Hari Pramuka.
"Sampai sekarang belum ada kejelasan untuk upacara tingkat kota. Kami tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada dana," ujar Abdullah saat dikonfirmasi jurnalis KBN.Com, Kamis (14/8/2025), melalui pesan WhatsApp.
Minimnya komunikasi dan nihilnya anggaran membuat Kwarcab tak punya pilihan selain menyerahkan pelaksanaan peringatan ke masing-masing kecamatan (kwartir ranting). Kegiatan pun berlangsung sporadis dan sederhana. Mulai dari pesta siaga hingga gebyar Pramuka penggalang—semuanya digelar tanpa koordinasi pusat, dan nyaris tanpa sokongan dana.
Bukan Sekadar Gagal Upacara
Tak cairnya anggaran hibah untuk Gerakan Pramuka menambah daftar panjang ketidakpastian. Sejak awal tahun, alokasi hibah dari Pemkot Cilegon belum juga jelas juntrungannya. Sejumlah sumber menyebut, hingga pertengahan Agustus ini, dokumen pencairan belum juga diproses.
Ini bukan sekadar soal administrasi. Di balik kegagalan menggelar upacara resmi, terselip kegagalan lebih besar: tidak hadirnya keberpihakan pemerintah terhadap pembinaan generasi muda.
Padahal, Gerakan Pramuka bukan hanya kegiatan seremonial. Sejak berdiri tahun 1961, Pramuka jadi arena pembentukan karakter, disiplin, hingga kepemimpinan anak muda. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan pergeseran nilai, Pramuka masih jadi salah satu pagar moral yang tersisa.
Tapi di Cilegon, pagar itu tampaknya mulai lapuk—bukan karena usia, tapi karena diabaikan.
Maman Harus Bicara
Sebagai Ketua Kwarcab sekaligus Sekda, publik tentu menunggu sikap tegas dari Maman Mauludin. Mengapa tidak ada pengawalan terhadap anggaran? Mengapa agenda strategis pembinaan generasi muda ini luput dari perhatian? Dan, mengapa suara Pramuka seolah tak dianggap penting?
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari Maman maupun Pemkot Cilegon terkait kondisi ini.
Namun satu hal pasti: Hari Pramuka di Cilegon tahun ini tidak hanya kehilangan upacara. Ia kehilangan makna.
Dan di tengah hingar-bingar proyek pembangunan, suara anak-anak berseragam cokelat tua itu justru senyap. Padahal, merekalah yang kelak akan mewarisi kota ini.
(Red*)
Posting Komentar